Kualitas yang sama dgn Overseas MBA?


I found it so inspiring from a websurfing after lunch time.
http://wishnuiriyanto.blogspot.com/2007/01/mba.html

Thanks to Pak Wishnu.

Btw, the picture on the left shows courage, bravery.

MBA

Wishnu Iriyanto

Ada satu anggapan yang diterima oleh banyak orang bahwa mereka yang datang dengan gelar akademik lebih tinggi, misalnya MBA dari universitas ternama di luar negeri berpeluang jauh lebih tinggi untuk bisa berhasil dalam bisnis nya dibanding mereka yang datang dengan kualifikasi lebih rendah dan bersifat lokal.

Saya percaya bahwa dengan memiliki suatu kualifikasi extra, seseorang akan memilki keunggulan tertentu dalam berbisnis dibanding yang tidak memilikinya tapi kalau ditanya apakah itu akan membuat dia menjadi “sulit dikejar” oleh lulusan lokal dalam permainan bisnis jangka panjang, Saya akan jelas jelas menolak pendapat ini.

Alasan saya tiba tiba masuk ke topik ini sebetulnya karena beberapa hari lalu saya ngobrol dengan seorang teman lewat MSN. Setelah ngalor-ngidul ke area area yang tidak jelas, tiba tiba saya bertanya; bagaimana kabarnya bisnis mu? Dia kebetulan berbisnis makanan. Jawaban dia sangat menyedihkan saya, dia bilang; ”saya kelihatannya akan memutuskan untuk mundur dari bisnis ini, karena persaingannya terlalu berat. Bayangkan untuk bisnis dengan skala seperti ini saja, pesaing saya banyak yang title nya MBA luar negeri. Belum lagi modalnya besar besar. Saya seperti berhadapan dengan raksasa, jadi sebelum saya “tenggelam” lebih dalam, mending saya keluar dengan bawa sisa modal yang tersisa”. Dia bilang lagi ”saya akan coba cari bisnis yang pesaingnya tidak terlalu berat saja.”

Kalau saya analisa secara cepat saja, teman saya ini kehilangan gairah, motivasi, dan nyali nya ketika berhadapan dengan pesaing pesaing yang dianggap lebih pintar dan bermodal.

Saya berpendapat, ini mungkin terjadi di banyak kasus dan dengan skala ketakutan yang berbeda beda. Dan menurut saya ketakutan itu bersifat menghancurkan semangat dan motivasi yang mana merupakan modal terpenting setiap orang untuk bisa berhasil.

Dalam tulisan saya yang sekarang ini, saya hanya akan memfokuskan pada latar belakang pendidikan, soal modal dan unsur ketakutan, saya harap saya bisa bahas di kesempatan yang berbeda.

Sepanjang saya bekerja dengan university di 10 negara (Australia, New Zealand, Singapore, Malaysia, china, USA, UK, German, Swiss, dan Canada) saya menemukan bahwa rata rata MBA itu terdiri atas 12 – 16 unit pelajaran.

KAlau di Australia dimana kebetulan saya juga pernah bersekolah MBA, rata rata university disini menjalankan MBA nya berdasarkan 12 unit subject.


Sejauh pelajaran diajarkan di university saya, tiap unit rata rata memiliki 2 buku pegangan utama dan rata rata 5 buku pendamping.

Jadi, kesimpulaannya adalah, bila seseorang mentok dibiaya, tapi bila mendisiplinkan diri untuk belajar dan menguasai min 7 buku, dia sebetulnya secara informal, sudah menguasai unit itu. Nah kalau dia cukup mendisiplinkan diri dengan membaca 84 (12x7) buku pegangan wajib dan pegangan pendamping program MBA di university, walau dia nggak punya gelar resmi, dia tidak kalah dan tidak perlu minder terhadap lulusan MBA setidaknya dari Australia.


Saya percaya sekali akan keberhasilan konsep alternatif seperti ini. Bahkan kalau mau lihat lebih dalam lagi, sebagian dari mereka yang belajar MBA, sebetulnya tidak benar benar menjiwai sekali bidang ini, mereka hanya ambil karena alasan gengsi dan koleksi gelar (agar nanti karir professional mereka bisa “menang start” dibanding yang tidak punya gelar yang sama).

Tentu saja banyak juga diantara mereka yang benar benar berjuang dan diperlengkapi dengan tujuan yang benar yaitu menguasai ilmu itu secara utuh, tapi kalau hanya dibandingkan dengan yang bertujuan gengsi dan koleksi gelar (mungkin mereka tidak sadari tujuan ini – tapi hasil akhir sekolah, yaitu dengan melihat penguasaan materi secara keseluruhan, memperlihatkan kesimpulan itu), mereka yang baca dan belajar bukunya secara otodidak, lulusan lokal sama sekali tidak perlu minder, apalagi takut bila harus bersaing dengan mereka.

Sebagaimana pengalaman-pengalaman pribadi saya di masa lalu selaku pemilik usaha dari organisasi beranggotakan sekitar 50 orang, dimana saya mengamati orang yang pernah singgah di organisasi kami dan memberikan pelayanannya untuk saya dan organisasi, saya menyimpulkan bahwa keberhasilan itu lebih dipengaruhi banyak sekali oleh faktor karakter (seperti teachable, rendah hati, punya sikap hati yang benar untuk dipimpin, setia dll) serta mental menang dibanding tingkat pendidikan dan reputasi university darimana dia berasal.

Mungkin ada pembaca yang lagi lagi bosan kalau tulisan saya banyak kembali ke faktor karakter sebagai pendukung keberhasilan, tapi memang sebetulnya itu lah yang memang saya temukan dari pengamatan pribadi saya. (yang tentu saja rekan lain boleh disagree karena pengalaman rekan yang berbeda dengan saya)

Misalnya dalam contoh di organisasi saya:

Pada suatu waktu, adik saya membawa teman pelayanan di gerejanya yang kebetulan hanya lulusan smu untuk mendaftar sebagai pegawai untuk posisi asisten bagi salah satu konsultan sekolah ke luar negeri kami. Secara umum, konsultan konsultan kami adalah lulusan luar negeri dan asisten asisten mereka merupakan setidaknya lulusan s1 lokal (kadang malah ada yang lulusan luar negeri juga).

Karena adik kandung saya yang memperkenalkan, saya memperhatikan dengan sedikit lebih serius. Calon pegawai ini latar belakang pendidikannya adalah SMU dan selama beberapa tahun terakhir bekerja sebagai marketing perusahaan mebel di PLUIT.

Anggapan saya saat itu, dia sebetulnya tidak qualified untuk bekerja di organisasi kami, tapi karena sudah diperkenalkan secara langsung, saya harus menemukan cara untuk menolaknya secara halus.

Akhirnya saya ada ide, saya minta calon pegawai baru ini untuk membaca 7 buku (yang saya pilihkan sendiri, dengan rata rata 180 an halaman dengan topic topic marketing praktis, management, motivasi, leadership dll) selama 7 hari kedepan. Nanti sesudahnya akan saya test, kalau saya puas dia sudah membaca dan menguasai nya secara memadai, saya akan kasih buku berbeda dalam jumlah yang sama dan dalam waktu yang sama yaitu 7 buku selama 7 hari. Ini akan berlanjut sampai dengan 3 putaran. Jadi jumlahnya adalah 21 buku untuk 21 hari. Terakhir, saya yang akan putuskan apakah akan diterima atau tidak berdasarkan kemampuan dia untuk menguasai apa yang saya berikan.

Tadinya saya pikir test jenis ini akan menakutkan dia, ternyata dia dengan bersemangat menerima jenis test kerja yang tidak umum ini.

Sebagai bayangan, sambil dia lakukan test itu, dia masih bekerja di pluit sementara dia tinggal di TG priok yang waktu tempuh naik kendaraan umumnya sekitar 90 – 120 menit diperjalanan. Jadi bisa dibayangkan kalau sebetulnya dia nggak punya waktu banyak untuk baca.

Hari ke 6, di telp saya untuk janjian ketemu besoknya untuk minta di test, padahal saya sendiri aja sudah lupa soal itu, karena saya tidak benar benar berpikir anak ini akan betul betul konsisten dengan janji membacanya.

HAri ke 7, test berjalan memuaskan, dia benar benar membaca seluruh buku. Sampai pada tahap ini, saya cukup surprise dengan kemauan nya untuk menang. Untuk ukuran orang yang dimasa lalu jarang baca buku dan sementara kerja full time ditempat yang jauh, saya masih bertanya tanya bagaimana dia me-manage hal ini yaitu bekerja dan baca buku dalam jumlah lumayan banyak serta dalam periode waktu yang sempit.

Hari ke 13, saya di telp lagi, Cuma sekarang yang telp adik saya. Dia bilang kalau temannya ini sekarang di rumah sakit. Dia pingsan mendadak. Saya luarbiasa kaget, dan saya tanya kenapa, adik saya bilang dia kurang tidur karena baca buku yang saya berikan.

Ketika saya mau jenguk, dia bilang nanti aja jenguk dirumah nya langsung, karena nggak lama lagi mereka diijinkan dokter untuk langsung pulang tanpa perlu dirawat dirumah sakit.

Belakangan saya tahu kalau ternyata itu pingsannya yang ke 3 kali dalam 12 hari kebelakang. Saya luarbiasa merasa berdosa saat itu. Saya tidak mengira kalau akibat test diluar system normal seperti itu membuat anak ini pingsan berulang ulang.

Tapi pada saat yang sama, saya menyadari ada kekuatan luarbiasa dalam diri anak ini, dia memiliki kemauan menang dan setidaknya satu bagian dari karakter yaitu teachable (bisa/mau diajar), ada pada dirinya diatas dosis normal.

Saya gembira sekali dengan penemuan saya ini, karena tidak banyak orang yang akan mencoba batas ketahanan tubuhnya sendiri demi memenuhi target yang sebetulnya saya sadari kurang realistis dari sisi waktu.

Pada akhir cerita, anak ini jadi pegawai ditempat kita, militansi kerja nya sangat mengagumkan, dan dia bukan hanya akhirnya jadi konsultan ditempat kita, tapi malah menduduki posisi pemimpin di salah satu cabang kami di Jakarta.

Yang hebatnya, di kantor cabang yang dipimpinnya, tanpa fasilitas yang cukup, dia mampu merubah kantor yang penjualannya merosot (walau dipegang lulusan luar negeri selama 2x berturut turut) menjadi posisi positif. Mental menang nya membuat dia yang cuma lulusan SMU bisa berdiri sejajar dengan konsultan lain yang lulusan luar negeri.

Walaupun dalam jangka pendek mereka yang memiliki gelar gelar yang kelihatan wah, sepertinya “menang start”, tapi dalam perlombaaan jangka panjang, sebetulnya etos kerja, karakter, mental menang, motivasi pribadi yang kuat (hal hal yang benar benar dasar), dan mereka yang mampu menumbuhkan keahlian otodidak lah yang akan menang.

Bicara tentang otodidak, saya berpendapat kualitas generasi sekarang relative kalah dengan generasi jaman dahulu. Saya pernah dengar cerita kalau oma nya teman saya, belajar bahasa perancisnya cuma lewat nonton bioskop. Malah dia sengaja sembunyi agar bisa nonton film itu 4 kali berturut turut dengan cuma bayar sekali. Dan menurut saya, kualitas bahasa perancisnya sangat bagus sekali untuk kategori orang yang tdk pernah kursus, hanya belajar dari bioskop dan tidak pernah pergi ke perancis. Tambahan lagi, oma nya ini kenal hanya sedikit sekali orang perancis di Jakarta sebagai partner bicara.

Oma ini bilang, di jamannya, hal hal otodidak seperti ini, bukanlah hal istimewa bagi kalangan intelektual saat itu. Coba bandingkan dengan kalangan intelektual kita saat ini, berapa banyak yang memilki skill otodidak pada level yang sama dengan oma tadi?

Memang sampai saat ini fasilitas pemerintah terhadap pendidikan murah, perpustakaan berkualitas dan akses akses terhadap pendidikan alternative masih sangat kurang dibanding Negara Negara lain, tapi saya berpendapat kegagalan terbesar bangsa ini masih bukan di pendidikan, tapi di mental menang dan karakter yang baik yang seharusnya dimiliki secara nasional.

Maafkan saya untuk kalimat seperti itu, terutama bagi mereka yang memang tidak termasuk golongan kebanyakan.

Mungkin mau sharing sedikit, semenjak saya di Melbourne dalam rangka mengembangkan kantor cabang kecil kami, saya merasa visi saya dibuat makin jelas oleh Tuhan dari hari ke hari. Pada saat saat hening, saya merasa sepertinya panggilan saya adalah di penciptaan sekolah sekolah alternatif yang bersifat singkat, mampu menghasilkan orang orang dengan kualitas karakter yang memadai dan mental menang yang excellent serta memperlengkapi mereka dengan skill yang memadai (tidak harus bersifat akademik) yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk bertarung dengan kesulitan hidup.

Saya merasa beban panggilan terbesar saya justru ada pada anak anak, karena setiap kali saya membaca berita yang luarbiasa banyaknya anak anak yang akhirnya kehilangan potensi terbaik mereka karena kurangnya motivasi dan menghabiskan tahun tahun terbaik mereka hanya untuk bertahan hidup di jalanan dan tidak menyadari visi visi besar yang secara alami ada pada diri mereka masing masing, saya merasa hati saya menangis. Saya menjerit kepada Tuhan untuk mengirimkan seseorang untuk melakukan sesuatu atas situasi ini. Lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan ini harus diputus bagaimanapun caranya.

Apabila ditanya apakah saya sudah mempunyai gambaran yang jelas mengenai ini, saya akan menjawab sama sekali tidak ada, tapi saya percaya Tuhan akan berikan itu pada waktunya dan saya percaya pada saatnya nanti Tuhan akan kirimkan orang orang terbaik dengan panggilan yang sama untuk kita bisa sama sama lakukan hal ini.

Di Australia ini, saya menyaksikan banyak sekali orang orang dengan etos kerja yang biasa biasa saja, tapi menikmati hidup yang layak, saya percaya Indonesia juga memilki puluhan juta pekerja dengan etos kerja yang tidak kalah kuatnya, tapi kenapa anak anak negeri ini harus menderita lapar, kekerasan fisik, harga diri yang rendah, hilangnya harapan sambil menyaksikan balita balita mereka kelaparan dan menangis karena kekurangan gizi.

Oleh karena itu tujuan dari rintisan pembuatan artikel artikel ini salah satunya adalah untuk men-draft-kan pemikiran pemikiran saya, agar suatu saat kelak bisa saya gunakan untuk merencanakan sesuatu yang berguna bagi visi dasar saya.

Sebetulnya saya berharap melalui bergabungnya saya di milis, saya bisa bertemu orang orang dengan skill, keterbebanan yang sama serta panggilan yang serupa utk kita bisa sama sama berpikir dan bertindak walau cuma dalam skala yang tidak besar tapi bisa mempengaruhi dampak masa depan anak anak.

Memang karena saya saat ini di Melbourne, tidak banyak yang saya bikin, tapi saya hanya berdoa semoga Tuhan terus pertajam visi, skill dan beban saya untuk bisa mematangkan konsep kasar yang saat ini saya percaya Tuhan sudah taruh di hati saya.

Saya percaya Tuhan memberkati dan membuka jalan bagi setiap pejuang yang bertekun hingga akhir dalam memenuhi panggilannya.

No comments:

Motivating

You are Never too Old to Study, to Learn, to Live

Another inspiring woman... Sitting on the front row in her college classes carefully taking notes, Nola Ochs is just as likely to answer que...